SASTRA HUMANIS: SEBUAH KRITIK
Emnaslux el-Andalasy
Sastra merupakan salah satu wahana pelampiasan ekspresi manusia. Lewat sastra—yang merupakan “lanjutan” dari bahasa—, manusia menyampaikan gagasan kepada yang lain. Karenanya, bagaimanapun, sastra itu humanis, tanpa embel-embel “humanis”.
Maka, istilah sastra humanis —yang ditawarkan Redaksi—nyata jumbuh, rancu, dipaksakan, dan pada tataran tertentu, mengada-ada! Karena, ke-humanis-an sastra menyatu dalam tubuh sastra itu sendiri, integral. Lalu, apa yang (mau) dipermasalahkan?
Bisa juga, sastra humanis dimaknai sebagai sastra yang menampilkan sisi asali dan dasari manusia: kebebasan dan kemerdekaan. Sastra, lantas menampilkan pemberontakan. Jika memang demikian, kenapa tidak dinamai sastra pemberontakan? Kiranya, istilah itu lebih sreg, ketimbang misalnya istilah sastra humanis yang tidak jelas jluntrung-nya.
Bila kita tengok ke belakang, Albert Camus, filsuf dan seniman Perancis sempat memplokamirkan: “Sastra, sejatinya pemberontakan!” Pasca-revolusi industri, kapilatisme membius sastra dan lebih besar lagi, seni untuk bertekuk lutut di bawah dulinya.
Terbuktilah sabda Antonio Gramschi. Seni, menjelma alat mayoritas untuk menghegemoni minoritas. Maka, tampillah seni pop. Genre ini merupakan seni yang sudah dirasuki nalar kapitalisme yang hendak menelikung publik.
Tengok misalnya, industri seni peran. Di setiap detik di layar kaca kita, berseliweran seni yang membius para penikmat hingga alam bawah sadar, untuk terus bertekuk lutut. Coba perhatikan kesan yang coba dijejalkan dalam nalar kita. Selalu tampil wajah indo: putih, mulus, tinggi semampai, dan langsing. Nalar kita dipaksa untuk sepakat, itulah definisi cantik.
Kebebasan kita untuk merepresentasikan yang berbeda dengan gambaran seni pop dibelenggu. Kita ditertawakan (masih beruntung jika tidak dikatakan gila, seperti disitir Faucoult dalam Madness and Civilitation) orang bersama-sama bila kita menyatakan cantik adalah—maaf— berkulit gelap, “melar”, pendek, hidung pesek, dan berambut kribo, dst.
Demikian halnya seni sastra, ada sastra pop. Sastra juga menampilkan sisi-sisi ketertundukan, tak jauh beda dengan budaya pop, karena memang menjadi pelengkapnya. Dan benar kata Hegel, manusia kehilangan sejarahnya. Manusia tidak histories.
Manusia tak mungkin mengubah dunia. Manusia hanya akan menjadi pelengkap roda jaman. Sejarah hanya menjadi milik mereka yang punya kuasa. Kekuasaan itu di tangan pemodal, lantaran mereka mampu membangun wacana yang sedemikian hegemonik.
Melihat sebegitu parahnya kondisi manusia, beberapa kalangan merasa tidak nyaman. Mereka perlu merubah sejarah. Harus dengan membuat sejarah sendiri. Sastra, seperti dituntut Mbah Jenggot Marx, ada untuk mengabdi pada rakyat, dan terutama, revolusi.
Sekarang, bila sastra model ini yang dimaksud redaktur, senyatanya sudah ada aliran sastra yang punya karakter kuat untuk memikul makna perlawanan: Sastra Realisme. Istilah realisme ini merujuk pada makna fakta-fakta nyata yang ada di sekitar kita. Fakta itu, tak lain dari ketimpangan, ketidakadilan, dan penindasan yang terstruktur rapi.
Realisme tidak menampilkan narasi perwujudan keindahan Tuhan. Realisme tidak berbicara tentang erotika alam. Tidak lagi tentang titik embun yang bergelayut dan berpendar di ujung bulir padi pada sawah yang menghijau diterpa mentari pagi dengan latar pegunungan yang membiru, berselimut kabut dan halimun.
Tidak! Realisme tidak puas dengan narasi natural, yang malas dan manja pada romantika. Kita serahkan tugas itu kepada saudara tua, naturalisme. Biarkan ia bernostalgia dengan keindahan dengan bidadarinya.
Sudah saatnya kita bicara metanarasi. Di balik embun yang berpendar itu tidak semata-mata embun. Perhatikan lebih seksama, pendarnya tidak lagi jernih. Zat kimia sisa penyemprotan kemarin sore memenuhi setiap ceruk di bulir padi itu. Itu racun!
Para petani terbiasa menggunakan insektisida buatan pabrik. Ya. Mereka termakan propaganda iklan yang dipajang, tidak hanya di televisi atau koran, juga di tiang-tiang listrik di sela-sela persawahan, atau spanduk di tengah jalan menuju sawah.
Coba kumpulkan ingatan kita. Beberapa puluh tahun lalu, pemerintah menggalakkan revolusi hijau. Pemerintah membagi pupuk, bibit unggul, dan obat-obatan untuk pertanian. Hasilnya, kini petani telah benar-benar tergantung dengan segala ubo rampe itu. Lalu, siapa yang untung saat harga pupuk dipermainkan? Atau, saat harga gabah jeblok?
Pemerintah semenjak dulu telah bersatu dengan mereka. Kini, saatnya disudahi. Kita, kaum muda tidak boleh tinggal diam dan terlena dengan naturalisme cinta, mode, budaya pop, fesyen, dst.
Perlawanan ini senyatanya sudah dimulai para pendahulu kita. Dalam dunia sastra kita mencatat nama Pramoedya. Ribuan halaman ia tuliskan, dalam Tetralogi Pulau Buru, Panggil Aku Kartini Saja, dst. Semua itu perlawanan, sobat!! Perlawanan atas ketidakadilan, kemunafikan, pembelengguan, penindasan, dan pengekangan.
Emnaslux el-Andalasy
Penikmat dan penimat sastra. Tinggal di Semarang. Bisa dikunjungi di http://nasrudincakep.blogspot.com dan http://ujungtinta.blogspot.com
Tulisan sederhana ini dimuat di majalah LiKSA edisi V tahun 2007 pada rubrik essai.
salam buat The Lux from The Next
No comments:
Post a Comment