Mari, Maknai Ulang Bencana
Bukan lautan, hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghamiri dirimu
(Koes Plus dalam Kolam Susu)
1
Bencana demi bencana antre untuk melanda dan menguji bangsa ini. Mulai dari kecelakaan lalu lintas, lumpur Lapindo, gempa bumi, erupsi gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan seterusnya. Bahkan, kita dibuat kesulitan untuk mencatat dan mengingatnya karena terlalu banyak.
Saking banyaknya, kita mulai dengan mudah (me)lupa(kan) dan apatis dengan segala bencana tersebut. Hingga bencana yang meminta banyak korban jiwa, kini bukan lagi perkara yang “wah”. Karena, kita sudah terlalu akrab dengan beragam bencana tersebut, hingga tidak menganggap bencana sebagai suatu perkara yang harus dicegah dan ditanggulangi.
Bencana, tak sekedar mengintip di balik puntu, ia tak sungkan lagi masuk ke bilik tidur kita, masuk ke dalam selimut. Bencana telah menjadi pengganti kasur atau bantal. Jangan-jangan, bencana telah menjadi teman selingkuh kita yang selalu membisikkan di telinga kita dengan manja, “Mas, sudah pagi!!..”.
Kata “bencana” sendiri kemudian dimaknai ulang. Bencana menjelma rutinitas keseharian yang berkelindan dalam (hampir) setiap sisi kehidupan kita. Lantas, apa yang sepatutnya kita lakukan terhadap makhluk yang acap disapa orang sebagai bencana? Mari kita ramai-ramai menertawakan bencana. Kok bisa?
Ya! Dulu, seperti yang didongengkan nenek menjelang tidur, Indonesia adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Koes Plus sempat menyebut, orang bilang tanah kita tanah surga/ tongkat kayu dan batu jadi tanaman//, atau seperti lirik yang terpenggal di muka. Dan kita percaya dengan semua itu.
Eh, sekarang. Hanya dalam hitungan puluhan tahun, tanpa ba-bi-bu, kita digerudug sebegitu banyak bencana. Apa ini tidak lucu?? Apa ini bukan mimpi di siang bolong namanya??
Sekali lagi. Mari kita menertawakan bencana. Karena barang kali, seperti yang dikatakan orang-orang yang demen protes pada Tuhan, “Pasti ada yang gak beres dengan pengaturan Tuhan atas bencana”. Atau, boleh jadi yang tidak beres itu kita sendiri.
Tetapi, dengan menertawakan bencana, setidaknya kita bisa mengenal lebih dekat dan lebih akrab dengan Mbak Bencana—sebut saja demikian. Kalau sudah akrab, Mbak Bencana pasti akan ewuh pakewuh saat hendak menggeruduk kita lagi di lain waktu. Bukan begitu??..
Jelasnya, menertawakan bencana di sini harus dimaknai sebagai upaya(-upaya) menempatkan manusia pada posisi asalinya. Bukankah menertawakan bencana sama halnya dengan menertawakan diri sendiri? Karena bukankah bencana itu merupakan kepanjangan dari “panjang tangan” kita sendiri?
Bahwa manusia menyandang dua tugas sekaligus dalam hidupnya: khalifatullah (agen Tuhan) dan abdullah (hamba Tuhan). Kita terlalu bangga saat khusyu beribadah, berzikir, dan menunaikan segala tugas abdullah. Kita asyik saat menyandang predikat Pak atau Bu Haji.
Sementara, kita melupakan dan menyepelekan tugas prinsipil: khalifatullah, agen Tuhan, yang bahkan dalam al-Qur’an disebut secara eksplisit sebanyak lima kali (QS 2:30; 27:62; 35:39; 7:129; 38:26). Tugas utamanya, menjaga keseimbangan alam dan memakmurkannya. Bila ini tidak dijalankan dengan baik, fantadziru as-sâ-’ah, kata orang Arab. Tunggulah “waktunya”!! Dan waktu itu kini telah datang, bahkan sudah lewat semenjak kemarin.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk (hanya) meratapi bencana dan segala yang sudah terlewat. Karena, kita hanya akan terbentur pada kerasnya dinding penyesalan. Ini hanya menambah beban jiwa. Dan pertanyaan yang muncul: Selesaikah semua persoalan?
2
Lain lagi bagi si korban. Seusai bencana, yang tertinggal hanyalah kesedihan dan penyesalan. Namun, kita perlu ingat. Kesedihan dan kebahagiaan dalam hidup bagai dua sisi mata uang. Berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjalin sinergi apik dan utuh untuk mewadahi wujud mata uang tersebut. Bila salah satu sisi tersebut tidak ada, mata uang dan juga kehidupan tersebut tidak sempurna, tidak mungkin terwujud.
Karena itu, sungguh keliru jika kita memahami bencana sebagai sebuah kenestapaan belaka. Bahwa kedua sisi mata uang tersebut mustahil tampil dalam satu sisi wajah adalah benar. Seperti kesedihan dan kebahagiaan yang tidak mungkin tampil pada satu “sisi” yang sama.
Tapi, kita jangan lupa. Bahwa sisi mata uang yang membelakangi kita itu tidak benar-benar hilang dan lenyap. Ia hanya membelakangi kita belaka, menghadap ke sisi yang berlawanan dengan wajah kita. Itu saja. Ia masih ada dan tetap eksis.
Demikian halnya, saat kita merasakan kebahagiaan, sejatinya kesedihan tetap ada, meski ia sekarang dalam posisi yang tidak kita perhatikan. Sekedar contoh. Saat lebaran, kita merayakan kemenangan, mengenakan pakaian yang serba baru, karena ujian puasa selama satu bulan penuh berhasil dilalui dengan sukses dan gemilang.
Boleh jadi, di balik kebahagiaan tersebut terselip sebuah kesedihan. Karena ada salah satu anggota keluarga kita yang tidak bisa berkumpul, misalnya, lantaran ada pelbagai halangan. Demikian halnya, kita jangan lupa, bahwa dalam kesedihan, masih ada beberapa kebahagiaan yang tersimpan.
Akan tetapi, yang sering dan selalu kita lakukan adalah mencukupkan diri dengan “sisi” kehidupan yang menghadap ke wajah kita, yang kebetulan adalah sisi kesedihan. Kita telah (me)lupa(kan) bahkan menafikan sisi lain yang sebetulnya ada di balik sisi yang (terlalu) kita amati tersebut.
Lantas, apa saja sisi yang lain itu? Mari kita tengok. Pertama, kita (masih bisa) merasakan kesedihan. Itu artinya, jiwa kemanusiaan kita masih ada dan utuh. Dari sekian banyak ciptaan Tuhan yang tak terhitung jumlahnya, hanya manusia yang mampu merasakan kesedihan serta mengekspresikannya dengan baik.
Kesedihan bisa menjadi racun yang menggerogoti dan menghancurkan jiwa manusia. Namun, kesedihan juga bisa menjadi pemicu semangat yang luar biasa. Tergantung bagaimana kita melihat dari sisi mana kesedihan tersebut. Kita memanfaatkan kesedihan atau kita terlarut dalam kesedihan hingga eksistensi kita musnah.
Kedua, ingat. Kita tidak sendiri. Ada banyak orang yang juga merasakan pahitnya bencana. Barang kali, rumah kita hancur. Tetapi, bisa jadi, keluarga kita (masih) tersisa. Itu artinya, kita kita lebih beruntung ketimbang saudara kita yang lain, yang hidup sebatang kara, tanpa tempat berteduh.
Ketiga, jangan lupa, Tuhan telah memberikan anugerah yang luar biasa kepada kita, yakni usia yang (cukup) panjang. Saudara-saudara kita lain telah tiada terkena bencana, karena “membayarkan biaya ujian dan pelajaran kepada kita”. Sementara, Tuhan masih memberi kesempatan kepada kita untuk hidup lebih lama lagi, untuk belajar.
Tidak sembarang orang bisa selamat dari bencana, kecuali atas ijin Tuhan. Kita yang tinggal di daerah yang tak terkena bencana sekalipun, sejatinya merupakan anugerah dari Tuhan. Karena kita tidak tahu, kapan dan dari mana bencana akan datang. Siapa pernah mengira, Porong akan tenggelam oleh lumpur Lapindo? Siapa tahu, Tsunami bakal meratakan Aceh? Tak ada yang tahu!! Kecuali Dia yang Maha Tahu.
Karenanya, kita “yang masih tersisa” ini merupakan hamba-hamba pilihan Tuhan yang dipercaya untuk menunaikan amanat-Nya. Apa itu? Mengembalikan keseimbangan alam dan memakmurkannya.
Caranya, melakukan pembenahan. Ini bisa dimulai dari pribadi dengan kapasitas dan kapabilitas yang kita miliki untuk menjaga keserasian, keasrian, dan kelestarian lingkungan. Kita yang kepala keluarga mengingatkan anggota keluarganya. Kita yang duduk di kursi pemerintahan membuat kebijakan pro-alam. Kita yang Pengembang, membangun hunian berwawasan ekologis. Kita yang tenaga edukatif menanamkan pendidikan ekologis kepada peserta didik. Kita yang agamawan menganjurkan umat agar sadar kelestarian alam, dan seterusnya.
Yang perlu diingat, kita masih punya saudara, keluarga, anak, cucu, dan seterusnya. Bila alam sudah kita rusak, apa yang bakal kita wariskan kepada mereka? Apa kita rela, kalau cucu kita kelak hendak melihat kucing saja harus ke kebun binatang? Atau, hanya bisa melihat lewat gambar untuk tahu bentuk pohon pisang.
Dalam ajaran agama, segala sesuatu yang diniati untuk tujuan baik, akan ternilai sebagai ibadah. Islam sendiri mengenal pemilahan ibadah ke dalam ibadah mahdhahh (segala ritual penghambaan diri kepada Tuhan) dan ibadah ghairu mahdhah (menjadi agen Tuhan di muka bumi). Tuhan tidak pernah lupa pada setiap perbuatan yang dilakukan hamba-Nya, baik atau buruk.
Dan yang perlu digarisbawahi, kesempatan untuk menjalankan amanat di atas hanya diberikan sekali saja. Betapa bodoh orang yang menyia-nyiakan kesempatan yang —sekali lagi—hanya sekali ini.[ ]
Essai ini sedang diikutsertakan dalam lomba penulisan essay yang diadakan LPM Ecpose dalam rangka harlah LPM Ecpose FE Universitas Jember
No comments:
Post a Comment